Presiden Joko Widodo berkata "kaget" atas pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3. Risalah rapat di DPR menunjukkan sebaliknya: Jokowi tahu.
“Setuju, Ketua.”
Dua kata itu keluar dari mulut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat hadir dalam pengambilan keputusan RUU tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2104 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), di Senayan, 7 Februari 2018.
Saat itu Yasonna menyetujui poin perubahan pasal 260 ayat 1 tentang penambahan unsur pimpinan DPD menjadi 1 orang ketua dan 3 wakil ketua. Padahal, sebelumnya, Yasonna menolak. Namun, Yasonna berubah pikiran setelah lobi-lobi yang digelar sebelum rapat pengambilan keputusan itu.
Yasonna tak hanya menyetujui penambahan pimpinan DPD. Ia juga menyetujui penambahan jumlah pimpinan DPR. Penambahan jumlah pimpinan DPR ini terkait upaya PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pemilu untuk mendapatkan kursi pimpinan. Sebagai kader PDIP, Yasonna turut memperjuangkan itu.
“Tadi setelah kami berbicara, dan membaca dinamika politik atau perdebatan-perdebatan yang disampaikan di fraksi-fraksi, kami dapat menyetujui tambahan 1 orang ketua dan 7 orang wakil ketua, dan minta disepakati sebelumnya di DPR RI penambahan 1 wakil ketua,” ujar Yasonna.
Begitu UU ini selesai dibahas oleh Yasonna dan DPR, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti bahwa ia tidak akan menandatangani revisi UU MD3 meski sudah ada di mejanya.
Pernyataan Jokowi bukan omong kosong. Sebulan setelah UU MD3 disahkan DPR, Jokowi tak kunjung menekennya.
“Soal UU MD3 ... saya sampaikan saya tidak menandatangani UU tersebut,” ujar Presiden Jokowi di Serang, 14 Maret lalu.
Meski menolak, Jokowi tidak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menganulir regulasi tersebut.
Langkah itu berbeda dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 yang merespons dengan Perppu saat ia ogah meneken UU Pemilihan Kepada Daerah. SBY mengeluarkan dua Perppu dengan alasan masyarakat tak setuju UU Pilkada .
Saat itu SBY mengeluarkan Perppu 1/2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini sekaligus mencabut Undang-undang 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Perppu lain adalah menghapus kewenangan DPR memilih kepala daerah.
Jokowi dan Yasonna Laoly Bersandiwara
Penolakan itu, kata Presiden Jokowi, didasarkan “keresahan” masyarakat terhadap sejumlah pasal kontroversial dalam revisi UU MD3. Di antaranya hak pemanggilan paksa DPR (pasal 73), wewenang Majelis Kehormatan Dewan (pasal 122), dan hak imunitas DPR (pasal 245).
Jokowi mengaku kaget karena selama ini Yasonna Laoly tak pernah melapor perkembangan pembahasan UU MD3. Hal ini diakui Yasonna. Namun, Yasonna enggan memberikan alasan mengapa ia mengabaikan atasannya.
“Sudahlah. Kalian tidak perlu tahu itu. Dinamikanya sangat alot pada waktu itu,” kata Yasonna di depan para wartawan.
Belakangan, Jokowi yang semula kaget atas pasal-pasal kontroversial itu membela Yasonna. Ia mengatakan Yasonna sempat meneleponnya, tapi saat itu tak memungkinkannya menjawab telepon.
“Dan pada saat itu memang berusaha untuk telepon, tapi saya tidak tahu. Saya pada posisi tidak mungkin menerima itu," ujar Jokowi di Serang.
Kendati kaget, Jokowi menjelaskan bahwa 75 persen usulan dari DPR soal UU MD3 sudah ditolak oleh menteri Yasonna.
Tapi di situlah soalnya: Jokowi dan Yasonna bersandiwara.
Sejak pembahasan UU MD3, tidak terlihat ada penolakan dari pemerintah, dalam hal ini diwakili Yasonna. Yang terjadi justru kompromi-kompromi dan kata “setuju”.
Yasonna berkali-kali menyinggung mengenai dinamika yang “alot” selama proses pembahasan UU MD3. Namun, kealotan itu tak muncul selama pembahasan. Misalnya soal jatah pimpinan DPR untuk partai pemenang pemilu, penolakan justru datang dari PPP dan NasDem.
Kesepakatan soal penambahan jumlah pimpinan DPR, berupa “jatah” untuk PDIP (Parpol tempat Yasonna bergabung) justru menjadi kesepakatan paling awal dalam rapat oleh Yasonna. Ini terbaca dari risalah rapat kerja pengambilan keputusan UU MD3 pada Rabu malam, 7 Februari 2018.
Dalam risalah yang dibuat oleh Sekretariat Badan Legislasi DPR RI itu, yang dokumennya disimpan redaksi Tirto dan menjadi tulang punggung artikel ini, Yasonna tak banyak bicara. Ia hanya menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketua rapat Dossy Iskandar Prasetyo, politikus dari Fraksi Hanura.
Selama rapat, Yasonna hanya bicara selama enam kali kesempatan. Tidak ada nada penolakan dari dia.
Misalnya, Yasonna setuju atas pasal 245 tentang hak imunitas anggota DPR (memanggil anggota DPR yang terlibat kasus pidana harus melalui persetujuan tertulis presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan).
Begitu pula saat pembahasan pasal 73 tentang hak DPR dapat memanggil setiap orang untuk hadir dalam rapat DPR. Yasonna hanya meralat pemanggilan paksa itu tidak hanya berlaku untuk pejabat negara, badan hukum, dan pejabat pemerintah, melainkan untuk semuanya. Frasa “Pejabat negara dll” diganti dengan “setiap orang”.
“Jadi supaya tidak ada diskriminasi, jadi ‘setiap orang’, Pak Ketua,” usul Yasonna.
Dalam rapat selama sekitar satu jam itu, nyaris tidak ada penolakan terhadap pembahasan pasal-pasal kontroversial, yang menguatkan anggota DPR bak lembaga penegak hukum selain penambahan jatah kursi pimpinan.
Dalam risalah, fraksi NasDem menolak secara menyeluruh, sementara PPP menolak sebagian pasal-pasal kontroversial.
Fakta ini berkebalikan dari omongan Jokowi bahwa 75 persen usulan DPR ditolak oleh Yasonna. Nyatanya, tidak ada satu poin pun yang ditolak pemerintah.
Ada Sambutan Jokowi dalam Risalah Rapat UU MD3
Dalam rapat pada Rabu malam, 7 Februari di Senayan, Yasonna Laoly membacakan sambutan singkat dari Jokowi. Artinya, Jokowi sudah tahu soal pasal-pasal UU MD3.
Dalam sambutan itu cuma dibahas satu hal, yakni ucapan terima kasih Jokowi atas perubahan MD3 terutama penambahan jumlah pimpinan jatah partai pemenang pemilu.
“... dengan cara menambah jumlah wakil ketua Pimpinan MPR, DPR dan DPD, yang memberikan cerminan penguatan kelembagaan dan tugas serta fungsi konstitusional MPR, DPR dan DPD,” kata Yasonna mewakili Jokowi.
Sambutan itu sejalan keinginan PDIP atas perubahan regulasi tersebut.
Junimart Girsang, politikus dari Fraksi PDIP yang terlibat dalam pembahasan UU MD3, mengatakan partainya memang fokus pada penambahan pimpinan DPR.
Soal pasal kontroversial, kata dia, bukan masukan dari PDIP, melainkan usulan dari fraksi lain saat pembahasan.
“Sejak awal niatan kami cuma menambah pimpinan DPR dan MPR yang memang hak kami. Tapi kami tidak bisa menolak keinginan fraksi-fraksi lain. Kami harus berkompromi supaya tujuan kami tercapai,” kata Junimart.
Soal sambutan Presiden dalam rapat kerja itu, juru bicara presiden, Johan Budi, mengatakan sudah dijelaskan oleh Yasonna.
"Pertanyaan kamu sebetulnya sudah ada jawabannya minggu lalu. Pak Yasonna juga sudah menjelaskan terkait hal itu," kata Budi.
Reni Marlinawati, politikus dari fraksi PPP yang hadir dalam rapat, mengklaim "tidak mengetahui" ada sambutan dari Presiden Jokowi yang dibacakan Yasonna. Ia menilai janggal ketika dalam rapat kerja, ada sambutan dari presiden.
“Itu risalah apa? Rapat pleno atau rapat kerja? Kalau rapat kerja, saya tidak yakin. Bisa jadi ada, mungkin pas saya sedang ke toilet atau gimana. Tapi ini tidak wajar,” ujar Reni.
Pasal Lain yang Seharusnya Dikritisi tapi Berjalan Mulus
Hampir semua usulan perubahan yang diajukan DPR ditanyakan oleh ketua rapat Dossy Iskandar Prasetyo kepada Yasonna Laoly. Namun, ada yang terlewat dari dia, bahkan tak muncul dalam pembahasan. Isu itu mengenai penambahan wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Penambahan wewenang MKD hanya disinggung sedikit oleh Supratman Andi Agtas, politikus dari Fraksi Gerindra, saat menyampaikan hasil kerja panitia kerja.
Dalam laporan itu, Supratman hanya menyinggung soal “perumusan ulang terkait tugas dan fungsi Mahkamah Kehormatan Dewan”. Tanpa ada pembahasan, pasal 122 ini pun lolos begitu saja, padahal isinya krusial.
Pasal 122 huruf l menyebutkan, “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
Wewenang baru MKD ini membuka celah kriminalisasi kepada siapa saja yang merendahkan kehormatan anggota DPR dan DPR sebagai lembaga.
Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad dari Fraksi Gerindra, mengatakan penambahan wewenang itu sudah direspons oleh MKD. Mereka sudah merumuskan aturan turunan dari UU MD3 dan memastikan wewenang baru itu tidak membuat masyarakat khawatir.
“Justru dengan undang-undang ini, anggota DPR tidak bisa seenaknya saja melapor ke polisi, karena yang berhak melapor itu sekarang MKD. Anggota DPR melapor ke MKD lebih dulu. Sekarang kami susun mekanisme, supaya tidak ada abuse of power,” kata Sufmi.
Selain kewenangan MKD, hal yang tidak diuraikan dalam rapat pada 7 Februari adalah menghidupkan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). Pada 2014, badan ini sudah dihapus.
Menurut pasal 112D, tugas dari BAKN adalah: pertama, melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR; kedua, menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi; ketiga, menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan keempat, memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
Tugas BAKN menjadi janggal karena badan ini bisa dipakai untuk mengaudit setiap temuan Badan Pemeriksaan Keuangan—lembaga negara yang menyoroti dan mengawasi akuntabilitas serta transparansi pemerintahan.
Namun, kejanggalan itu dibantah oleh Reni Marlinawati dari Fraksi PPP yang terlibat dalam pembahasan UU MD3. Katanya, BAKN justru dihidupkan lagi dengan "semangat mewujudkan transparansi."
“Kami seluruh anggota DPR ini belum bisa mencermati setiap laporan dari BPK. Kan banyak yang tidak mengerti. Saya sendiri saja tidak mengerti. Jadi yang bertugas itu nanti, yang men-judge bahwa laporan BPK ini kira-kira memadai atau tidak, ya badan itu,” ujar Reni.
Sumber : TIRTO
No comments:
Write komentar