Kali ini datang dari pakar pendidikan, Prof. DR. M. Dawam Rahardjo, Rektor UP45 Yogyakarta menuturkan, bahwasanya Indonesia adalah Negara Outsouching. Indonesia
tidak melakukan Industrialisasi, karena indonesia hanya penyedia pabrik saja. Sebagai fasilitator pabrik tepatnya, dimana pemiliknya seperti yang kita ketahui bersama, tetap asing lagi, asing lagi. Lama kelamaan, bangsa Ini hanya menjadi Negara sebagai "Tukang Pembersih WC" yang diberakin oleh kapitalis asing.
Disisi lain Prof.DR. Sri Edi Swasono sebagai Ketua Majelis Luhur Taman Siswa, beliau menceritakan perihal pendapat dari Rektor UGM pada Acara Dies Natalis 2013, bahwasannya kita tidak berdaulat dalam teknologi, bibit, mesiu, pangan, energy, obat, dan industri. Obat hanya peracik, Industri hanya perakit, bahkan panganpun import.
Seolah kita dilahirkan disini hanya sebagai ahli konsumsi saja. Sangat jauh dari kedaulatan, untuk sebuah bangsa.
Prof Sri Edi dengan tegas mempertanyakan, “Apa yang kau ajarkan kepada mahasiswamu? Koq mahasiswamu jadi begini? Dan tidak melihat bahwa sekarang ini keadaannya bertentangan dengan UUD. Tidak melihat bahwa tanpa kedaulatan itu, memalukan. Koq ga ada yang kerasa itu?”
Lagi, statemen menarik dari salah satu praktisi pendidikan lainnya. Beliau mengatakan bahwa "Universitas, berhentilah menyibukkan diri dengan embel - embel universitas kelas dunia, Universitas riset atau apapun itu namanya. Saya kira itu semua adalah cerminan dari neokolonialisme. dan memang kenyataannya seperti itu. Universitas dijadikan sebagai ajang pengkaderan agen - agen kolonial".
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, serta pola pikir yang makin cerdik, membuat segala sesuatu hal terlihat tampak indah, namun hanya sesaat dan sesat.
Kapitalisme perlahan lahan masuk ke kedaulatan Bangsa Indonesia. Seolah - olah turut berpartisipasi membantu kedaulatan, namun kenyataannya terbalik, justru menjadikan bangsa Indonesia yang tak berdaulat sama sekali.
Salah satu contoh sistem kapitalis mulai mengukuhkan cakarnya di Indonesia adalah
dengan dikuasainya marketplace - marketplace ternama yang ada di Indonesia. Mengutip dari Juragan Forum tentang bibit - bibit kapitalis di darah kita, dipaparkan oleh Mas Jaya Setiabudi, bagaimana para kapitalis memainkan strategi dan merusak ekosistem perekonomian UKM. Perang harga, diskon gede - gedean, serta ongkos kirim yang gratis. Sekilas terlihat menguntungkan bagi pembeli dan produsen, namun efeknya sementara, karena Pasar akan sensitif terhadap harga. Konsumen akan membeli ke marketplace yang harganya gak masuk akal bagi pelaku UKM. Para UKM pun mulai jadi korban rusaknya ekosistem, baik toko offline ataupun online lokal tidak mampu bersaing, alhasil tutup toko, gulung tikar. Itulah kenapa Mas J, dengan Yukbisnis dan Yubimall-nya hanya menerima produk-produk 'Merah Putih' saja. Alias karya anak negeri.
Contoh lain seperti yang diwartakan laman swamedium, maraknya iklan hunian di berbagai media cetak dan elektronik berdampak pada harga properti yang semakin
tidak terjangkau bagi para pekerja dan buruh yang berpendapatan pas - pasan. Para Pengembang jor-joran mengiklankan Apartemen dan Hunian Mewahnya yang hanya “satu koma empat milayar saja” sebagai investasi. Akhirnya, yang kaya makin kaya. Yang kurang mampu, hanya penikmat iklan dan berlalu, ingin punya rumah? Jadi impian semu.
Pemerintah sudah semestinya menertibkan dan proaktif, dicarikan solusi menjaga stabilitas harga properti yang terjangkau bagi pekerja, ini sudah selayaknya menjadi prioritas pemerintah. Sebab bukan hanya pengembang sebagai pengusaha saja yang ingin anak dan istrinya tidur dengan nyenyak di rumah yang layak, namun kaum pekerja, ekonomi menengah kebawah juga berhak mendapatkan hunian yang layak bagi anak - istri mereka.
Kementerian Perkerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan memperkirakan, hingga tahun 2025 angka kebutuhan rumah di Indonesia mencapai 30 juta unit ( Sumber : Kompas)
Tahun 2017 kemarin, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Menpupera) Basuki Hadimuljono mengaku Program Satu Juta Rumah akan diteruskan ditahun 2018 ini. Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Syarif Burhanuddin menambahkan, dirinya sangat optimis program itu bisa ditingkatkan capaiannya.
Di Tahun 2017, pemerintah sudah melakukan pembangunan hunian dengan komposisi pembangunannya masih tetap 700.000 unit rumah bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), dan sisanya 300.000 unit rumah untuk non MBR.
Jika mengacu pada data diatas bahwa kemampuan pemerintah dalam membangun properti untuk masyarakat hanya sebatas 1 juta unit pertahun sedangkan target pemerintah di tahun 2025 mesti 30 juta terpenuhi. Sehingga pertahun semestinya pemerintah membangun hunian untuk masyarakat sebanyak 3.750.000 unit.
Dengan demikian masih ada potensi bagi pengembang lokal/pribumi untuk membantu mewujudkan pemenuhan hunian sebanyak 2.750.000 unit/tahun. Melihat pasokan rumah yang gak cukup maka diperlukan pengembang lokal baru.
Memasuki tahun 2018 industri properti dalam negeri menghadapi beberapa tantangan di tahun politik. Salah satunya adalah serbuan pengembang asing dari China yang bersembunyi di balik nama lokal ( Sumber : Okezone)
Hal ini mesti kita waspadai karena developer china cenderung berambisi dan memiliki target yang tinggi untuk menguasai properti seluruh tanah air.
Pertanyaanya adalah apakah kita hanya bisa berdiam diri dan menjadi penikmat iklan “satu koma empat miliar saja”? Atau mungkin secara ga sadar, kita adalah salah satu agennya? Calo tanahnya? Bahkan Agen pemasar produknya? Sampai akhirnya INDONESIA SOLD OUT ketangan kapitalis asing selamanya. Mungkinkan??
No comments:
Write komentar