Hukum karma rupanya datang lebih awal dari yang dikira dalam perhelatan demokrasi di Jawa Barat. Dua partai politik yang telah mengkhianati kesepakatan, kini menuai ganjaran. Elektabilitas kandidat yang mereka usung, terjun bebas dalam sejumlah hasil survei. Sementara, elektabilitas kandidat yang dulu diabaikan, jauh melambung tinggi. Kondisi ini tak ubahnya seperti judul buku yang pernah ditulis budayawan Sujiwo Tejo, “Tuhan Maha Asyik”.
Sepekan belakangan, dua lembaga survei, Litbang Kompas dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), merilis hasil kajian mereka terhadap elektabilitas kandidat di Pilkada Jawa Barat. Hasilnya, dua kandidat bersaing ketat memperebutkan suara mayoritas, sementara dua sisanya tertinggal jauh di belakang.
Pada survei Litbang Kompas, pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (Duo D) memimpin dengan elektabilitas 42,8 Persen. Disusul pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul (Rindu) di tempat kedua dengan perolehan 39,9 persen. Pada posisi ketiga, ditempati pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Asyik) dengan 7,8 persen dan terakhir pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan (Hasanah) dengan 3,1 persen. Sisanya, 6,4 persen responden tidak menjawab atau rahasia.
Hasil survei yang tak jauh beda dirilis SMRC, meski lembaga ini menempatkan pasangan Rindu di posisi pertama dengan raihan elektabilitas tertinggi. Rindu memperoleh 43,7 persen, disusul Duo D dengan 30,7 persen. Asyik mendapat 4,6 persen, dan Hasanah hanya memperoleh 2,8 persen.
Dari dua survei terbaru ini bisa tergambar cuma dua kandidat yang berebut kemenangan, yakni Duo D yang diusung Partai Demokrat dan Golkar, serta Rindu yang didukung koalisi PKB, PPP, Nasdem dan Partai Hanura. Sedangkan dua kandidat lain, yaitu Asyik yang menjadi jagoan Gerindra dan PKS, serta Hasanah dari PDIP, hanya akan menjadi penggembira, lantaran elektabilitas mereka rendah sekali.
Boleh saja para pendukung pasangan Asyik dan Hasanah ini masih optimis untuk menang, dengan menuding lembaga survei kurang kredibel atau semacamnya. Namun tetap saja, angka sejomplang itu agak sulit juga untuk didebat. Bagaimana berharap bisa menang, jika jagoan kita belum menyentuh angka 10 persen, sementara elektabilitas dua kandidat lawan sudah di atas 40 persen. Apalagi waktu yang tersisa hanya tiga bulan jelang pemungutan suara. Berjuang sekuat apa juga, peluang menang nyaris tidak ada.
Jika kita ingat ke belakang, kondisi ini tak terlepas dari kesalahan Gerindra yang memaksakan pencalonan Sudrajat. Politikus baru, yang sama sekali belum dikenal publik. Padahal sebelumnya Prabowo Subianto telah berkomitmen untuk mengusung Deddy Mizwar (Demiz). Wakil gubernur Jabar itu pun telah bersedia menjadi kader Gerindra untuk diusung dalam pilkada. Nyatanya, nasib Demiz digantung begitu saja, hingga akhirnya Gerindra membatalkan pencalonan dan menggaet mantan anak buah Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, yang sebelumnya menjabat CEO Susi Air.
Kala itu, Demiz yang masih bergandengan tangan dengan Ahmad Syaikhu, diminta untuk mencari parpol pengusung lain. Sebab, PKS dan PAN tak cukup suara mengusung calon di pilkada. Demiz mendekati Demokrat dan tercapai kesepakatan. Sebagai salah satu pendiri parpol berlambang mercy, mantan aktor pemeran Naga Bonar itu didapuk menjadi kader Demokrat. PKS dan PAN awalnya menerima, bahkan dalam kunjungannya ke kediaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden PKS, Sohibul Iman, masih menyatakan komitmen untuk bekerjasama di provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia ini.
Tak disangka, hanya tiga hari setelah pertemuan itu, PKS mendeklarasikan dukungan terhadap Sudrajat. Partai dakwah ini menarik kadernya, Ahmad Syaikhu, untuk diduetkan dengan jagoan Gerindra. Dalih mereka cukup menggelikan. Demiz disebut akan mendukung calon Demokrat di Pilpres 2019 mendatang. Karena itu mereka membatalkan kesepakatan. Ini alasan yang dibuat-buat. Demiz sudah jadi kader Demokrat, jadi wajar jika ia mendukung kebijakan partai yang menaunginya. Tidak ada yang salah dengan itu. Tak lama kemudian, PAN ikut berpaling dengan alasan sudah banyak berutang budi kepada Gerindra. Tinggallah Demiz yang terzalimi dan Demokrat yang terkhianati.
Untung saja di saat bersamaan terjadi gejolak internal di Golkar. Pucuk pimpinannya berganti, sehingga pencalonan di semua pilkada dievaluasi. Di Jabar, partai berlambang beringin ini menarik dukungan dari Ridwan Kamil dan menduetkan kadernya Dedi Mulyadi menjadi pendamping Demiz. Pasangan yang sebelumnya sama-sama terzalimi ini, akhirnya mendapat tempat di hati rakyat. Keduanya populer dengan tingkat keterpilihan lumayan tinggi sejauh ini. Elektabilitas mereka bahkan mengalahkan kandidat kuat seperti pasangan Rindu, dan jauh mengungguli jagoan parpol yang dulu mengkhianati, yakni pasangan Asyik. Jadi cukup tepat rasanya jika kita menggambarkan situasi ini dengan meminjam istilah dari buku Sujiwo Tejo, “Tuhan memang maha asyik”.
Oleh: Patrick Wilson
No comments:
Write komentar