Mbak Sukma, Begini Lo Pemikiran Bung Karno Soal Syariat Islam


Syair berjudul, "Ibu Indonesia" itu dibacakan oleh Sukmawati Soekarnoputri dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week, Rabu, 28 Maret 2018. Tiga hari kemudian puisi itu memantik kontroversi lantaran Sukmawati menyinggung soal syariat Islam, konde dan cadar.

"Aku tak tahu syariat Islam Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok."

Begitu bunyi salah satu penggalan syair puisi yang dibawakan Sukmawati. Hari ini, Selasa 3 April 2018 putri ke-3 mendiang Presiden Sukarno itu dilaporkan ke polisi karena isi puisi, "Ibu Indonesia" dianggap menghina umat Islam.

Di media sosial kritik atas puisi yang dibawakan Sukmawati bermunculan. Tak sedikit yang menyayangkan lantaran dia adalah putri salah satu proklamator Indonesia Bung Karno yang semasa hidupnya dikenal sangat memahami syariat Islam. 

Delapan puluh empat tahun yang lalu, tepatnya tahun 1934, dalam pengasingannya di Ende, Flores Nusa Tenggara Timur, Bung Karno banyak mempelajari Islam. Di situlah Sukarno merasa mengalami titik balik spiritualnya. "Di Flores aku juga membersihkan diri dari segala takhayul," kata Sukarno dalam otobiografi, "Penjambung Lidah Rakjat" yang ditulis Cindy Adams.

Selama di Flores, Bung Karno kerap merenung di bawah pohon sukun yang menghadap ke teluk. Di bawah pohon itu pula konon Sukarno mendapat ide soal pancasila. Dari Ende, Sukarno menuangkan pemikirannya tentang Islam yang dia tulis kepada rekan-rekannya di Persis (Persatuan Islam). Tulisan Bung Karno tersebut kemudian dikenal dengan "Surat-surat Islam dari Ende".

Salah satu surat Sukarno tersebut dikirimkan kepada Ahmad Hassan, pemikir muda Islam kelahiran Singapura yang ketika itu tinggal Bandung. Ahmad Hassan aktif di Persis dan menjadi guru agama Islam bagi Sukarno saat tinggal di Bandung.

Ketika Bung Karno melewati masa pengasingan di Ende sampai 1938, Ahmad Hassan kerap mengirimkan buku-buku dan majalah tentang Islam. Bung Karno membalas kiriman buku itu dengan surat kepada Ahmad Hassan. Dalam salah satu suratnya pada Februari 1936, si Bung mengemukakan dengan lugas soal syariat islam.

"Kenapa kita mesti kembali ke zaman "kebesaran Islam" yang dulu-dulu? Hukum Syari'at? Lupakah kita, bahwa hukum Syari'at itu bukan hanya haram, makruh, sunah, dan fardlu sahaja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang "mubah" atau "jaiz"?," demikian salah satu penggalan suratnya seperti tertuang dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I.

Alangkah baiknya, ia melanjutkan, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau jaiz ini! Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statesmanship, "boleh bergias, boleh berbid'ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh berradio, boleh berkapal-udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh ber-hyper-hyper-modern," asal tidak nyata dihukum haram atau makruh oleh Allah dan Rassul!.

Sebagai seorang muslim, pemikiran Bung Karno pun tak lepas dari ajaran Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Pun ketika dia berpidato tentang Pancasila di gedung Chuo Sangi In (sekarang Gedung Pancasila).

"Jikalau memang rakyat Indonesia, rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin urusan-urusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang, anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam," tutur Sukarno dalam buku Tjamkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara.

Meski demikian, Bung Karno tak hendak membuat Indonesia hanya menjadi negara untuk satu agama saja waktu itu. Bahkan dia yang memilih para anggota BPUPKI di antaranya ada 4 keturunan Tionghoa dan seorang keturunan Belanda.

"Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apa yang bilangannya lima? Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan; lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa--namanya ialah Pancasila," tutur Sukarno dalam sidang BPUPKI.

Puluhan tahun setelah Bung Karno yang rajin membedah dan belajar syariat Islam, salah satu putrinya justru membacakan puisi yang menuai kontroversi. Sukmawati mengaku tak paham syariat Islam.

No comments:
Write komentar

Interested for our works and services?
Get more of our update !