Kebijakan Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) mendapat kritik dari Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) dan Gerindra.
Wakil Ketua Komisi V DPR dari Fraksi PKS Sigit Sosiantomo menyesalkan sikap pemerintah yang mempermudah TKA untuk bekerja di Indonesia.
Sigit menilai Perpres tersebut berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan.
"Kami kecewa dengan kebijakan ini. Dalam membuat UU, kami, DPR dan pemerintah sudah sepakat untuk melindungi tenaga kerja kita dan memperketat aturan bagi TKA untuk bekerja di Indonesia. Sikap pemerintah kok malah seperti ini," ujar Sigit melalui keterangan tertulisnya, Rabu (11/4/2018).
Menurut Sigit, kebijakan memberi kemudahkan perizinan pada TKA berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Selain itu, Perpres tersebut juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Jaskon), Undang-Undang Nomor 6 tahun 2017 tentang Arsitek dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran.
Dalam keempat UU itu, kata Sigit, sudah diatur sangat ketat agar tenaga kerja asing tidak asal masuk.
Bahkan, untuk badan usaha jasa konstruksi asing yang bekerja di Indonesia pun harus lebih memprioritaskan pekerja lokal daripada pekerja asing.
"Soal serbuan tenaga kerja asing ini sebenarnya sudah diantisipasi DPR dalam berbagai aturan perundang-undangan. Di UU jaskon misalnya, jelas di UU itu ada pembatasan untuk TKA yang bisa bekerja di Indonesia. Tujuannya untuk melindungi tenaga kerja kita. Dalam UU Arsitek, arsitek asing harus bekerja sama dengan arsitek Indonesia dan sebagai penanggung jawabnya yaitu arsitek Indonesia," kata Sigit.
"Ini semua untuk membatasi TKA dan memprioritaskan tenaga kerja kita. Mengapa sikap pemerintah justru sebaliknya, mengeluarkan Perpres yang mempermudah TKA bisa bekerja di Indonesia," ucapnya.
Di sisi lain, Sigit juga mengingatkan bahwa masih banyak tenaga kerja lokal yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hal itu tergambar dari minimnya penyerapan tenaga kerja Indonesia, bahkan minus untuk sektor konstruksi.
Sigit menjelaskan, berdasarkan hasil riset Center of Reform on Economic (CORE), anggaran infrastruktur yang digenjot pemerintah tidak serta merta menambah lapangan kerja. Untuk sektor konstruksi, CORE mencatat penyerapan tenaga kerja untuk sektor konstruksi minus 7 persen.
Sementara berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2017 menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta atau ada penambahan jumlah pengangguran sebanyak 10 ribu orang dalam setahun terakhir.
Menurut Sigit, hasil survei BPS dan riset CORE sudah cukup membuktikan bahwa Indonesia masih butuh banyak lapangan kerja untuk rakyat.
Apalagi, dari 121 juta penduduk yang bekerja, sebanyak 69,02 juta orang atau 57,03 persen penduduk, bekerja di sektor informal.
"Inikan sangat menyakitkan hati rakyat jika justru lapangan kerja baru diberikan pada TKA. Seharusnya, pemerintah lebih fokus untuk meningkatkan daya saing pekerja Indonesia sehingga bisa terserap diberbagai lapangan kerja, bukan sebaliknya mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif," tutur Sigit.
Tidak Pro Rakyat
Secara terpisah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon juga mengkritik kebijakan tersebut saat ditanya pendapatnya soal tagar #2019GantiPresiden yang belakangan viral di media sosial.
Menurut Fadli, beberapa kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang ekonomi justru tidak berpihak pada rakyat.
"Saya setuju 100 persen. Tahun 2019 kalau bagi kami di Gerindra pasti setuju 100 persen harus ganti presiden kalau enggak ya kita kacau ini indonesia ke depan secara ekonomi ya karena kebijakan-kebijakannya itu tidak pro rakyat dan bukan ekonomi kerakyatan," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/4/2018).
Fadli pun mencontohkan kebijakan Presiden Jokowi yang menandatangani Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Meski pemerintah mengatakan kebijakan ini berujung pada peningkatan investasi dan perbaikan ekonomi nasional, namun Fadli menilai kebijakan tersebut merupakan sebuah ironi ketika banyak masyarakat Indonesia membutuhkan pekerjaan.
Di sisi lain, lanjut Fadli, kebijakan itu menuai protes di kalangan serikat pekerja.
"Itu salah satu kebijakan yang sangat ironis dan menurut saya ini tidak pro rakyat," kata Fadli.
Perpres Nomor 20 Tahun 2018 setidaknya ditujukan untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi.
Dalam Perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 26 Maret lalu ini disebutkan, penggunaan TKA dilakukan oleh pemberi kerja TKA dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Tetapi, hal itu dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar tenaga kerja dalam negeri.
Setiap pemberi kerja TKA, wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Dalam hal jabatan sebagaimana dimaksud belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, jabatan tersebut dapat diduduki oleh TKA.
Sumber : KOMPAS
No comments:
Write komentar