Nama Presisen Rusia Vladimir Putin ramai dibicarakan di Indonesia usai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengungkapkan kekagumannya di Twitter.
Fadli mengatakan seharusnya pemimpin Indonesia memiliki keberanian, kecerdasan, dan wibawa seperti Putin. Tak lupa, ia menyindir pemimpin yang kurang tegas serta banyak utang.
"Klu ingin bangkit n jaya, RI butuh pemimpin spt Vladimir Putin: berani, visioner, cerdas, berwibawa, nggak byk ngutang, nggak planga plongo," kicau Fadli Zon di akun Twitter, @fadlizon, Jumat (30/3).
Cuitan itu mengundang komentar pro dan kontra dari berbagai kalangan. Meski tak menyebut secara langsung, cuitan itu dianggap ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Beberapa waktu lalu juga pemimpin-pemimpin dari negara lain yang dianggap memiliki ketegasan dan kekuatan jadi idola di kalangan masyarakat dan tokoh nasional Indonesia. Sebut saja Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Pengamat komunikasi politik Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi menilai ada kecenderungan pemimpin-pemimpin itu diidolakan karena mempunyai atribut yang berlawanan dari Jokowi. Dodi, sapaan akrab Kuskridho, mengatakan perbandingan itu tak lebih dari upaya melemahkan Jokowi.
Karakter Jokowi dinilai bertolak belakang dengan tiga pemimpin tersebut yang dinilai tegas dan kuat.
"Itu teknik standar untuk mendegradasi lawan politik. Dengan memberi perbandingan, secara selektif dipilih atribut kuat pemimpin lain yang ditandingkan dengan atribut yangg dianggap lemah dari pemimpin di sini," ujar Dodi.
Dodi menilai penggunaan sosok dari luar negeri sebagai upaya pengaburan makna sesungguhnya. Menurutnya, tujuan sebenarnya, khususnya cuitan Fadli Zon, adalah menggambarkan sosok Prabowo yang tegas lebih cocok memimpin Indonesia ketimbang Jokowi.
Jika membandingkan Jokowi dengan tokoh Indonesia, lanjutnya, akan mudah menimbulkan serangan balik di masyarakat. Selain itu belum ada sosok yang benar-benar unggul dari Jokowi secara elektoral.
"Saya kira yang dimaksud Fadli Zon ya pak Prabowo, tapi secara elektoral belum kokoh," kata dia.
Dihubungi terpisah, pengamat politik Indonesia Watch for Democracy Abi Rekso menganggap perbandingan ini tidak terlalu efektif. Masyarakat Indonesia, kata dia, sudah tidak terlalu gemar pemimpin mempunyai citra kuat, tegas, dan berwibawa pascareformasi.
"Sosok Jokowi dan SBY secara simbolik disukai masyarakat karena keluwesannya," ujar Abi.
Perbedaannya SBY terlihat memiliki tradisi kelas atas, sementara Jokowi terlihat lebih merakyat.
"Kalau Fadli mengatakan Indonesia butuh sosok pemimpin seperti Putin, dia sebenarnya mengkonstruksi Prabowo sebagai orang yang dianggap memiliki kemiripan dengan Putin. Tapi sebenarnya publik tidak suka orang seperti itu," ujarnya.
Dia menilai sosok Jokowi yang superior secara elektoral membuat oposisi mengulik berbagai cara untuk melakukan penggembosan citra. Namun, oposisi melupakan tugas utamanya: kritik terhadap kebijakan.
Abi menganggap sebenarnya hal ini awal dari konflik horizontal. Masyarakat dididik untuk membenci pemimpinnya bukan karena kebijakan, tetapi citra yang dibuat buruk. Efeknya, semua elemen negara harus turun tangan untuk mencegah konflik horizontal terjadi lebih dalam.
"Hari ini yang terjadi adalah delegitimasi. Bukan kritik terhadap pemerintahan, tapi perontokan terhadap legitimasi pemerintahaan. Itu sebenarnya wajar dalam politik, tapi bukan pendidikan politik yang baik untuk publik karena publik dihasut untuk membenci pemimpinnya," kata dia.
No comments:
Write komentar